Mungkin pertanyaan ini lebih tepat kalau saya ajukan kepada Bapak-bapak kita yang berkecimpung di dunia perpolitikan, tapi untuk tulisan kali ini pertanyaan khusus saya ajukan kepada rekan-rekan mahasiswa yang hobinya berargumentasi, berpendapat, dan berwacana. Hahaha, berdebat. Kuping saya selalu panas kalau ada perkataan mengenai perdebatan , apalagi perdebatan yang hanya dilandaskan urat (a.k.a emosi). Bukannya mendiskreditkan rekan-rekanku mahasiswa yang aktif di organisasi tapi ini menurut pengalaman saya ketika dalam sebuah forum , seringkali peserta forum tersebut memancing untuk berdebat (kusir) dan malasnya lagi, debat kusir dilakukan dengan landasan emosi semata , sama sekali tidak ada landasan ilmiah atau minimal menurut si A atau si B yang notabene pendapatnya lebih autentik
Mari kita kembali kepada masalah perdebatan yang tidak kondusif ini, saya sebenarnya suka sama hal-hal yang berbau perdebatan alias pro kontra dalam mengkaji sebuah masalah. Proses dialektika, begitu rekan-rekan mahasiswa di kampus ini menyebutnya. Saya juga suka mengikuti acara debat di televisi yang menghadirkan tokoh-tokoh terkemuka di Indonesia. Namun, perlahan-lahan saya juga gerah kalau melihat aksi-aksi para debater itu menjurus pada pemancingan emosi forum atau dapat dikatakan sudah diluar jalur. Gimana mau menyampaikan pendapat yang solutif kalau dalam forumnya sendiri ada gangguan? Saya yakin begitu dalam forum mulai ada orang-orang yang flaming dan diluar koridor, maka semua peserta forum tidak lagi berpikir solutif, yang ada hanya berpikir bagaimana si flamer ini tidak mendebat secara membabi buta pendapat yang ia ajukan nantinya.
Pada akhirnya saya hanya mampu menyampaikan uneg-uneg ini saja. Sekadar memberikan gambaran bagaimana proses dialektika berlangsung dan bagaimana mendebat yang baik dan solutif. Dan pada akhirnya, seperti yang sering saya ucapkan ketika forum sudah “diacak-acak” oleh flamer, “diem aja ah ,kalau makin ngotot, makin suka dia “
No comments:
Post a Comment